Kapitalisme Global dan Format Gerakan
Saat
ini kita hidup dalam era globalisasi yang ditandai dengan semakin
kaburnya ‘batas-batas’ antar negara. Hal ini sebenarnya tidak terlepas
dari pengaruh semakin menyebarnya kapitalisme multinasional atau yang
oleh Lenin disebut dengan imperialisme.
Dunia tempat kita hidup semakin terasa sempit, seolah-olah tidak ada
lagi tempat untuk kita menyepi, merenung, dan memaknai kembali hidup
kita.
Kita semakin disibukkan oleh apa yang disebut dengan rutinitas duniawi,
kegiatan dan aktivitas yang terus berulang dari hari ke hari, yang
membuat kita seolah dikejar-kejar oleh pemenuhan materi dan melupakan
bahwa sebenarnya ada kebutuhan lain dalam diri kita yang mungkin bisa
dikatakan lebih fundamental, yaitu kebutuhan akan sebuah spiritualitas individual, kebutuhan akan pemenuhan ruhani.
Kalau kita mencoba mencermati realitas yang ada saat ini, maka kita akan melihat bahwa kapitalisme semakin
menjerat negara dan bangsa Indonesia. Di bidang politik,
kebijakan-kebijakan (policies) pemerintah lebih banyak diatur oleh
sekelompok orang yang punya kepentingan ekonomi-politik untuk
‘menguasai’ serta ‘mengendalikan’ negara dan bangsa kita daripada oleh
orang-orang yang memiliki keberanian politik untuk melaksanakan
kebijakan-kabijakan secara mandiri dan berkedaulatan.
Dalam bidang ekonomi,
kita juga tidak bisa melepaskan diri dari jeratan liberalisme ekonomi
dengan instrumen-instrumennya seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia, di mana
ketiganya disetir oleh para penguasa kapital dunia.
Di ranah budaya,
kita semakin dijajah oleh komponen-komponen budaya asing yang hedonis,
materialistis, dan individualis, sehingga mengancam eksistensi kita
sebagai sebuah bangsa yang ramah, sederhana, toleran, suka bergotong
royong, dan berbagai cirri khas bangsa Indonesia. Hal ini pada akhirnya
mengancam eksistensi budaya dan
tradisi kita, dan membuat kita lupa akan kebesaran dan kekayaan budaya
kita. Dan satu hal lagi yang membuat kita miris yaitu kondisi pendidikan
kita.
Pendidikan yang
seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pelayan rakyat,
ternyata malah diserahkan kepada segelintir orang ‘pemegang saham’ untuk
menentukan masa depannya. Ketika pendidikan dikuasai oleh mereka yang
memiliki modal, maka aksesibilitas orang-orang yang tak bermodal akan
semakin kecil dan bahkan mungkin hilang sama sekali. Hal ini terbukti
dengan disahkannya RUU BHP baru-baru ini.
Apakah kita akan diam
saja melihat kondisi yang demikian? Kalau memang kita masih memiliki
rasa nasionalisme dan kepedulian sosial terhadap sesama, maka seharusnya
kita menjawab tidak. Begitu pula sebaliknya. Namun, apabila kita merasa
memiliki rasa nasionalisme dan kepedulian sosial terhadap sesama
sedangkan kita memilih untuk berdiam diri dan bungkam melihat realitas
yang ada, maka kita perlu menanyakan kembali pada diri kita, “Apakah
kita benar-benar memiliki rasa nasionalisme dan kepedulian terhadap
sesama, atau hanya kesadaran semu (pseudo-consciousness) belaka?”
Gerakan mahasiswa sebagai salah satu elemen masyarakat sipil (civil society)
memiliki kewajiban moral untuk memanifestasikan rasa nasionalisme dan
kepedulian sosialnya. Gerakan mahasiswa merupakan salah satu tonggak
utama bagi terwujudnya demokrasi yang sesungguhnya, keadilan sosial yang
sebenarnya, dan kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya. Hal ini telah
terbukti dalam berbagai babakan sejarah kebangsaan kita sejak awal
munculnya gerakan nasionalisme tahun 1920-an hingga runtuhnya Orde Baru.
Dan kini, gerakan mahasiswa dihadapkan
pada realitas sosial dan politik yang semakin kompleks, di mana
globalisasi dengan boncengannya yaitu kapitalisme multinasional telah
merasuk begitu dalam ke jantung ‘pertahanan’ negara dan bangsa
Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Indonesia sebagai
salah satu negara dan sebuah entitas kebangsaan tidak lepas dari jeratan
kapitalisme multinasional. Oleh karena itulah, tantangan gerakan
mahasiswa di era reformasi ini, selain menuntaskan perubahan setelah
jatuhnya rezim diktator Soeharto, adalah menghadapi gempuran serangan
kapitalisme multinasional dengan strategi globalisasinya.
Kalau
kita melihat ke belakang, sebenarnya gerakan-gerakan perjuangan
pembebasan dan kemerdekaan sejak awal abad ke-20, terutama yang
dipelopori oleh kaum muda dan mahasiswa, menghadapi musuh yang sama,
yaitu kapitalisme global. Hasyim Wahid dalam bukunya yang berjudul
“Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia”
berpendapat bahwa perjalanan negara dan bangsa Indonesia sejak awal
hingga sekarang dan bahkan di masa depan tidak pernah terlepas dari
hubungan atau keterkaitannya dengan kapitalisme global.
Oleh
karena itu, dalam melihat dan mengamati perjalanan bangsa ke depan, kita
pun harus memperhatikan hal ini. Dalam bukunya tersebut Gus Im
(panggilan akrab Hasyim Wahid) menjelaskan secara gamblang bagaimana
pengaruh dan ‘intervensi’ kapitalisme global dengan berbagai kelicikan dan kecerdikannya telah mewarnai perjalanan bangsa dan negara Indonesia.
Hal inilah yang harus disadari oleh gerakan mahasiswa saat
ini dan ke depan, apabila tidak ingin kehilangan pisau analisis sosial
dan analisis kebijakan dalam menentukan format dan strategi gerakannya.
Atau malah lebih memilih untuk ‘mengikuti arus’? Wallahu a’lam bis
showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar