Metodologi Filologi
Perkembangan rasionalisme pada abad ke-18 juga berpengaruh pada
pemahaman tentang hermeneutika. Hermeneutika pun, yang tadinya hanya
digunakan di dalam proses penafsiran Kitab Suci, ternyata juga dapat
diterapkan pada bidang-bidang lainnya, yang non Kitab Suci. “Norma-norma
penafsiran Kita Suci”, demikian tulis Spinoza, “hanya dapat menjadi
cahaya bagi rasionalitas yang cocok untuk semua.”[5]
Tantangan untuk menerapkan metode hermeneutika pada bidang-bidang non
Kitab Suci. Yang menjadi penting disini adalah, bahwa sang penafsir
tidak lagi hanya menarik nilai-nilai moral dari suatu teks, tetapi juga
mampu memahami “roh” yang berada di balik teks, dan kemudian
menterjemahkannya secara rasional sesuai konteks yang berlaku. Banyak
ahli yang berpendapat, bahwa pemahaman semacam merupakan proses
demitologisasi gerakan pencerahan atas teologi dan agama-agama.
Walaupun, terutama di abad ke-20, proses tersebut tidak lagi dipahami
sebagai pemurnian tafsiran dari mitos, dan kemudian menjadikannya
serasional mungkin, tetapi lebih sebagai proses penafsiran lebih jauh
dari penafsiran yang sudah ada sebelumnya.[6]
Sebagai
fungsi metodologi filologi, hermeneutika menuntut sang penafsir untuk
mengerti latar belakang sejarah dari teks yang ditafsirkannya. “Setiap
penafsir”,tulis J.S Semler,”haruslah mampu berbicara tentang teks yang
ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang berbeda, serta
situasi yang berbeda...”[7] Dengan demikian, seorang penafsir juga
adalah seorang “sejarahwan”, yang mampu mengerti dan memahami “roh”
historis dari teks yang dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi
dapat terungkap.
Ilmu Pemahaman Bahasa
Dalam bidang ini, filsuf yang banyak memberikan kontribusi
adalah Schleiermacher. Ia memandang hermeneutika sebagai semacam sintesa
antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk memahami. Pemahaman semacam ini
mau melampaui konsep, yang melulu memandang hermeneutika sebagai
kelompok aturan koheren dan sistematis, yang merupakan panduan utama
untuk menafsirkan teks. Schleiermacher tidak puas hanya dengan memandang
hermeneutika sebagai metodo filologi, seperti yang sedikit sudah
dijelaskan di atas, melainka juga melihat hermeneutika sebagai
“hermeneutika umum”.[8] Prinsip-prinsip hermeneutika umum dapat juga
berfungsi sebagai landasan atas berbagai macam penafsiran teks.
Dengan merumuskan hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”,
ia, untuk pertama kalinya, memahami hermeneutika sebagai studi atas
pemahaman itu sendiri. Hermeneutika semacam ini merupakan semacam
sintesa antara tafsir Kitab Suci dan Filologi.
Landasan Metodologis bagi Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Wilhelm Dilthey, satu filsuf yang banyak berbicara tentang
hermeneutika pada abad ke-19, berpendapat, bahwa hermeneutika adalah
displin berpikir, yang dapat digunakan sebagai landasan metodologi untuk
ilmu-ilmu kemanusiaan, yakni ilmu-ilmu yang memfokuskan analisanya pada
pemahaman akan seni, tindakan sosial manusia, maupun karya-karyanya.
Menurutnya, untuk menafsirkan dan memahami ekspresi dari
karya-karya manusia, terutama dalam bentuk karya-karya sastra,
penafsiran Kitab Suci, dan penafsiran hukum, diperlukan tindakan
pemahaman sejarah, yang secara operasional berbeda dengan metode sains
yang kuantitatif untuk memahami gejala-gejala alam. Ia berpendapat bahwa
di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan diperlukan “rasionalitas” yang lain
untuk memperoleh pemahaman sejarah, yang berbeda dari “rasionalitas
murni” Kantian, yang dapat digunakan untuk menafsirkan alam. Jenis
“rasionalitas” untuk memperoleh pemahaman di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan
adalah “rasionalitas historis”.
Hermeneutika, bagi
Dilthey, adalah displin ilmu yang berfokus pada problem penafsiran, dan
terutama sekali adalah penafsiran atas obyek-obyek historis, yakni
sebuah teks. Oleh karena itu, metode yang paling tepat adalah memahami,
dan bukan mengkalkulasi secara kuantitatif, seperti yang diterapkan pada
ilmu-ilmu alam. Dalam hal ini, ia telah merumuskan landasan yang lebih
manusiawi dan historis tentang metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar