Sebab-Sebab Terjadinya Degradasi Lingkungan Hidup.
Ada dua faktor
penyebab terjadinya degradasi lingkungan hidup (LH), pertama penyebab
yang bersifat tidak langsung dan kedua penyebab yang bersifat langsung.
Faktor penyebab tidak langsung merupakan penyebab yang sangat dominan
terhadap kerusakan lingkungan, sedangkan yang bersifat langsung,
terbatas pada ulah penduduk setempat yang terpaksa mengeksploitasi
hutan/lingkungan secara berlebihan karena desakan kebutuhan. Faktor
penyebab tersebut berikut ini bersifat tidak langsung.
1. Pertambahan
Penduduk. Penduduk yang bertambah terus setiap tahun menghendaki
penyediaan sejumlah kebutuhan atas “pangan, sandang dan papan (rumah)”.
Sementara itu ruang muka bumi tempat manusia mencari nafkah tidak
bertambah luas. Perluasan lapangan usaha itulah yang pada gilirannya
menyebabkan eksploitasi lingkungan secara berlebihan dan atau secara
liar.
2 Kebijakan Pemerintah. Beberapa kebijakan pemerintah yang
berdampak negatif terhadap LH. Sejak tahun 1970, pembangunan Indonesia
dititikberatkan pada pembangunan industri yang berbasis pada pembangunan
pertanian yang menyokong industri. Keinginan pemerintah Orde Baru saat
itu yang segera ingin mewujudkan Indonesia sebagai negara industri,
telah menyebabkan rakyat miskin mayoritas penduduk (terutama yang tidak
memiliki lahan yang cukup) hanya menjadi “penonton” pembangunan. Bahkan
sebagian dari mereka kehilangan mata pencarian sebagai buruh tani dan
nelayan karena masuknya teknologi di bidang pertanian dan perikanan.
Mereka ini karena terpaksa menggarap tanah negara secara liar di daerah
pesisir hingga pegunungan.
3. Dampak Industrialisasi. Dalam proses
industrialisasi ini antara lain termasuk industri perkayuan,
perumahan/real estate dan industri kertas. Ketiga industri tersebut di
atas memerlukan kayu dalam jumlah yang besar sebagai bahan bakunya.
Inilah awal mula eksploitasi kayu di hutan-hutan, yang melibatkan banyak
kalangan terlibat di dalamnya. Keuntungan yang demikian besar dalam
bisnis perkayuan telah mengundang banyak pengusaha besar terjun di
bidang ini. Namun, sangat disayangkan karena sulitnya pengawasan, banyak
aturan di bidang pengusahaan hutan ini yang dilanggar yang pada
gilirannya berkembang menjadi semacam “mafia” perkayuan. Semua ini
terjadi karena ada jaringan kolusi yang rapi antara pengusaha, oknum
birokrasi dan oknum keamanan. Sementara itu penduduk setempat yang
perduli hutan tidak berdaya menghadapinnya. Akibat lebih lanjut penduduk
setempat yang semula peduli dan mencintai hutan serta memiliki sikap
moral yang tinggi terhadap lingkungan menjadi frustasi, bahkan kemudian
sebagian dari mereka turut terlibat dalam proses “illegal logging”
tersebut. Masalah tersebut di atas di era pemerintahan Orde Reformasi
sekarang ini masih terus berlanjut, bahkan semakin marak dan melibatkan
sejumlah pihak yang lebih banyak dibandingkan dengan era Orde Baru. Uang
yang berlimpah dari keuntungan illegal logging ini telah membutakan
mata hati/dan moral oknum-oknum birokrat dan penegak hukum yang terlibat
atas betapa pentingnya manfaat hutan dan lingkungan hidup yang lestari,
untuk kehidupan semua makhluk, khususnya manusia generasi sekarang dan
yang akan datang.
4. Reboisasi dan Reklamasi yang Gagal. Upaya
reboisasi hutan yang telah ditebang dan reklamasi lubang/tanah terbuka
bekas galian tambang sangat minim hasilnya karena prosesnya memerlukan
waktu puluhan tahun dan dananya tidak mencukupi karena banyak
disalahgunakan (dikorupsi). Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan dan
kesadaran atas pentingnya pelestarian lingkungan hidup, baik di kalangan
pejabat maupun warga masyarakat sangat rendah. Kebakaran hutan
reboisasi diduga ada unsur kesengajaan untuk mengelabui reboisasi yang
tidak sesuai ketentuan (manipulasi reboisasi).
5. Meningkatnya
Penduduk Miskin dan Pengangguran. Bertambah banyaknya penduduk miskin
dan pengangguran sebagai akibat dari pemulihan krisis ekonomi yang
hingga kini belum berhasil serta adanya kebijakan ekonomi pemerintah
yang tidak populis seperti penghilangan subsidi untuk sebagian kebutuhan
pokok rakyat, peningkatan tarif BMM, listrik, telepon dan lain-lain,
merupakan faktor pemicu sekaligus pemacu perusakan lingkungan oleh
penduduk miskin di pedesaan. Gejala ini juga dimanfaatkan oleh para
spekulan penduduk kota untuk bekerja sama dengan penduduk miskin
pedesaan. Sebagai contoh mengalirnya kayu jati hasil penebangan liar
dari hutan negara/perhutani ke industri meubelair di kota-kota besar di
Pulau Jawa, sebagai satu bukti dalam hal ini. Peningkatan jumlah
penduduk miskin dan pengangguran diperkirakan akan memperbesar dan
mempercepat kerusakan hutan/lingkungan yang makin parah. Hal ini
merupakan lampu merah bagi masa depan generasi kita.
6. Lemahnya
Penegakan Hukum. Sudah banyak peraturan perundangan yang telah dibuat
berkenaan dengan pengelolaan lingkungan dan khususnya hutan, namun
implementasinya di lapangan seakan-akan tidak tampak, karena memang
faktanya apa yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan yang telah
dibuat. Lemah dan tidak jalannya sangsi atas pelanggaran dalam setiap
peraturan yang ada memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran. Di
pihak lain disinyalir adanya aparat penegak hukum yang terlibat dalam
sindikat/mafia perkayuan dan pertambangan telah melemahkan proses
peradilan atas para penjahat lingkungan, sehingga mengesankan peradilan
masalah lingkungan seperti sandiwara belaka. Namun di atas itu semua
lemahnya penegakan hukum sebagai akibat rendahnya komitmen dan
kredibilitas moral aparat penegak hukum merupakan faktor utama yang
berpengaruh terhadap semakin maraknya perusakan hutan/lingkungan.
7.
Kesadaran Masyarakat yang Rendah. Kesadaran sebagian besar warga
masyarakat yang rendah terhadap pentingnya pelestarian lingkungan/hutan
merupakan satu hal yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat atas
degradasi lingkungan yang semakin intensif. Rendahnya kesadaran
masyarakat ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang
lingkungan hidup yang memadai. Oleh karena itu, kini sudah saatnya
pengetahuan tentang lingkungan hidup dikembangkan sedemikian rupa dan
menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah umum mulai dari tingkat SD.
Hal ini dipandang penting, karena kurangnya pengetahuan masyarakat atas
fungsi dan manfaat lingkungan hidup telah menyebabkan pula rendahnya
disiplin masyarakat dalam memperlakukan lingkungan sesuai peraturan
perundang-undangan dan kaidah-kaidah iptek lingkungan hidup.
8.
Pencemaran Lingkungan. Pencemaran lingkungan baik pencemaran air, tanah
maupun udara justru di era reformasi ini terutama di Pulau Jawa semakin
memprihatinkan. Disiplin masyarakat kota dalam mengelola sampah secara
benar semakin menurun. Banyak onggokan sampah bukan pada tempatnya. Para
pelaku industri berdasarkan hasil penelitian tidak ada yang mengelola
sampah industri dengan baik. Sebanyak 50% dari 85 perusahaan hanya
mengelola sampah berdasarkan ketentuan minimum. Sebanyak 22 perusahaan
(25%) mengelola sampah tidak sesuai ketentuan bahkan ada 4 perusahaan
belum mengendalikan pencemaran dari pabriknya sama sekali.
Pencemaran
udara semakin meningkat tajam di kota-kota besar, metropolitan dan
kawasan industri. Gas buangan (CO2) dari kendaraan yang lalu lalang
semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah kendaraan itu
sendiri. Dengan diproduksinya kendaraan murah (Toyota Avanza dan Xenia)
yang dijual secara kredit, akan menambah lonjakan jumlah kendaraan, hal
ini akan menambah kemacetan lalu lintas di kota besar. Dampaknya akan
terjadi lonjakan tingkat pencemaran udara yang luar biasa.
sumer:http://slamet-triyono.blogspot.com/2010/01/penyebab-terjadinya-degradasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar